Translate

Senin, 27 Januari 2014

Sekian dan Terimakasih


Jenis dan Pola Kemitraan


Dalam Pasal 27 Undang-Undang Usaha Kecil ditentukan pola-pola kemitraan sebagai berikut:
 
1.Inti Plasma
Pola inti plasma adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang di dalamnya usaha menengah atau usaha besar bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma, perusahaan inti melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi.
 
2.Subkontrak
Pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang di dalamnya usaha kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar sebagai bagian dari produksinya. Kelemahan pola subkontrak ini adalah pada besarnya kebergantungan pengusaha kecil pada pengusaha menengah atau besar. 

Hal tersebut dapat berdampak negatif terhadap kemandirian dan keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha kecil. Manfaat yang diperoleh pengusaha kecil melalui pola subkontrak ini adalah dalam hal :
a.       Kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen.
b.      Kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperoleh bahan baku.
c.       Bimbingan dan kemampuan teknis produksi dan atau manajemen.
d.      Perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang digunakan.
e.       Pembiayaan.
3.Dagang Umum
Pola dagang umum adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang di dalamnya usaha menengah atau usaha besar memasarkan produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.

4.Waralaba
Pola waralaba adalah hubungan kemitraan yang di dalamnya usaha menengah atau usaha besar pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi merk dan saluran distribusi perusahaan kepada usaha kecil penerima waralaba dengan disertai bantuan dan bimbingan manajemen. 

Pengaturan yang terinci mengenai kemitraan  bisnis pola waralaba ini telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 26 Tahun 1997 tentang waralaba. Di dalam peraturan pemerintah kemitraan sendiri terdapat pengaturan khusus tentang waralaba ini, antara lain dalam pasal 7 yang menentukan sebagai berikut :
a.  Usaha besar dan atau usaha menengah yang bermaksud memperluas usahanya dengan memberi waralaba, memberikan kesempatan dan mendahulukan usaha kecil yang memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai penerima waralaba untuk usaha yang bersangkutan.
b.  Perluasan usaha oleh usaha besar dan atau usaha menengah dengan cara waralaba di kabupaten atau kotamadya Daerah Tingkat II di luar ibukota propinsi hanya dapat dilakukan melalui kemitraan dengan usaha kecil.

5.Keagenan
Pola keagenan adalah hubungan kemitraan yang di dalamnya usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha menengah atau usaha besar mitranya. Pengertian agen hampir sama dengan distributor karena sama-sama menjadi perantara dalam memasarkan barang dan jasa perusahaan menengah atau besar (prisipal). Namun, secara hukum berbeda karena mempunyai karakteristik dan tanggungjawab hukum yang berbeda.

6.Modal Ventura
Modal Ventura dapat didefinisikan dalam berbagai versi. Pada dasarnya berbagai macam definisi tersebut mengacu pada satu pengertian mengenai modal ventura yaitu suatu pembiayaan oleh suatu perusahaan pasangan usahanya yang prinsip pembiayaannya adalah penyertaan modal. 

Meskipun prinsip dari modal ventura adalah “penyertaan” namun hal tersebut tidak berarti bahwa bentuk formal dari pembiayaannya selalu penyertaan. Bentuk pembiayaannya bisa saja obligasi atau bahkan pinjaman, namun obligasi atau pinjaman itu tidak sama dengan obligasi atau pinjaman biasa karena mempunyai sifat khusus yang pada intinya mempunyai syarat pengembalian dan balas jasa yang lebih lunak.

 

Kendala-Kendala Kemitraan



Kendala di Pihak Perusahaan Mitra Kendala di Pihak Kelompok/Usaha Mitra
-Penguasaan pasar
-Penyalahgunaan posisi
-Kapasitas manajemen dan keahlian
-Ketersediaan dana
-Kemampuan mengadopsi teknologi baru
-Posisi tawar yang rendah               
Sumber: Saptana (2006)

Dalam konsep kemitraan, perusahaan mitra memiliki peran dan tanggung jawab yang strategis, karena menggantikan peranan pertukaran di pasar terbuka. Apabila perusahaan mitra tidak dapat menjamin pemasaran produk kelompok/usaha mitra, maka kelangsungan hubungan kontrak akan terancam.

Dominasi peranan perusahaan mitra dalam kemitraan bisa mengarah pada ketergantungan dan subordinasi. Ketentuan yang tegas dalam hubungan kontrak
dan kesadaran yang tinggi dari perusahaan mitra untuk menepati ketentuan merupakan solusi untuk permasalahan ini.

Kegagalan implikasi sistem kemitraan dapat terjadi karena ketidakdisiplinan manajemen perusahaan mitra, termasuk krisis keuangan yang dihadapi oleh pihak-pihak yang bermitra. Demikian pula apabila terjadi penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang disepakati dengan kenyataan yang menyangkut keahlian para petugas lapangan. Padahal dalam kemitraan standar kualitas yang dituntut berbeda dengan pasar lokal/tradisional, sehingga asistensi teknis untuk meningkatkan kualitas produk sangat penting.

Perusahaan mitra sebagai investor harus memiliki ketersediaan dana yang cukup besar untuk bertahan sebelum memperoleh keuntungan. Kalau tidak ada fleksibilitas dalam ketersediaan dana, maka akan mengancam keberlangsungan
kegiatan usaha di tengah jalan.

Kendala yang memiliki peluang besar muncul di pihak kelompok/usaha mitra (petani) meliputi permasalahan yang berkaitan dengan aspek produksi. Kemampuan mengadopsi teknologi baru dalam produksi berkaitan dengan kultur produksi serta etos kerja kelompok/usaha mitra yang masih tradisional dapat menjadi kendala yang menentukan keberhasilan hubungan kemitraan. Bagi usaha/petani kecil, memasuki hubungan kontrak bisa jadi kurang proporsional seperti yang ditentukan di dalam kontrak bisnis.

Kemampuan negosiasi dibutuhkan untuk menjaga agar hubungan kontrak bisnis dapat memberikan keuntungan proporsional bagi kelompok/usaha mitra. Kemampuan negosiasi di pihak kelompok/usaha mitra dapat dilakukan apabila mereka bersama atau kolektif membentuk suatu kekuatan dalam suatu sarana, misalnya melalui kelompok tani.

Asas-Asas Kemitraan



Menurut Undang-Undang NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI “Asas Kemitraan mengandung pengertian hubungan kerja para pihak yang harmonis, terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis”.

Menurut Veronica (2001) kemitraan agribisnis berdasarkan pada persamaan kedudukan, keselarasan, dan peningkatan keterampilan petani mitra oleh perusahaan mitra melalui perwujudan sinergi kemitraan yaitu hubungan yang:
1) Saling memerlukan dalam arti perusahaan mitra memerlukan pasokan bahan baku dan kelompok mitra memerlukan bimbingan dan penambahan hasil.
2) Saling memperkuat dalam arti baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra bersama-sama memperhatikan kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing usahanya.
3) Saling menguntungkan yaitu baik kelompok mitra maupun perusahaan mitra memperoleh peningkatan pendapatan dan kesinambungan usaha. 

Kelompok mitra mitra dalam mendukung pelaksanaan kemitraan perlu ditingkatkan kemampuannya dalam: a) merencanakan usaha, b) melaksanakan dan mantaati perjanjian kemitraan, c) memupuk modal dan memanfaatkan pendapatan secara rasional, d) meningkatkan hubungan melembaga dengan koperasi, e) mencari dan memanfaatkan informasi peluang usaha sehingga dapat mandiri dan mencapai skala usaha ekonomi. Asas dalam kemitraan adalah adanya asas kesejajaran kedudukan mitra, asas saling membutuhkan dan asas saling menguntungkan, selain itu diperlukan juga adanya asas saling mematuhi etika bisnis kemitraan.

Prinsip-Prinsip Kemitraan


Kemitraan yang ideal yaitu kemitraan yang saling menguntungkan dan berlandaskan ekonomi, bukan berdasarkan belas kasihan. Kemitraan antara yang usaha skala kecil dan usaha skala besar harus dilakukan dalam kaitan bisnis yang saling menguntungkan. 

Menurut Gumbira-Sa’id dan Intan (2000) dalam Veronica (2001), prinsipprinsip kemitraan yang harus ada agar menjamin suksesnya kemitraan antara lain prinsip saling ketergantungan dan saling membutuhkan, saling menguntungkan, memiliki transparansi, memiliki azas formal dan legal, melakukan alih pengetahuan dan pengalaman, melakukan pertukaran informasi, penyelesaian masalah dan pembagian keuntungan yang adil. 

Prinsip kemitraan memerlukan syarat-syarat sebagai berikut :

(a) Saling pengertian (common understanding)

Prinsip saling pengertian ini dikembangkan dengan cara meningkatkan pemahaman yang sama mengenai lingkungan, permasalahan lingkungan, serta peranan masing-masing komponen. Selain aspek lingkungan yang mungkin sangat baru bagi para pelaku pembangunan, juga pemahaman diri mengenai fungsi dan peranan masing-masing aktor penting. Artinya masing-masing aktor harus dapat memahami kondisi dan posisi komponen yang lain, baik pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat. 

(b) Kesepakatan bersama (mutual agreement)

Kesepakatan adalah aspek yang penting sebagai tahap awal dari suatu kerjasama yang baik antara pihak-pihak yang bersangkutan. Kesepakatan ini hanya dapat diraih dengan adanya saling pengertian seperti yang disebutkan di atas. Hal ini merupakan dasar-dasar untuk dapat saling mempercayai dan saling memberi diantara para pihak yang bersangkutan. 

(c) Tindakan bersama (collective action)

Tindakan bersama ini adalah tekad bersama-sama untuk mengembangkan kepedulian lingkungan. Cara yang dilakukan tentu berbeda antara pihak yang satu dengan pihak yang lain tetapi tujuannya sama yaitu melindungi lingkungan dari kerusakan. Hal ini merupakan tujuan dari penggunaan prinsip-prinsip kemitraan.



Pendekatan kemitraan ini memberikan peluang bagi masing-masing pihak untuk saling memanfaatkan keuntungan yang didapat dari upaya perlindungan lingkungan. Masing-masing pihak dapat mengambil manfaat dari perlindungan lingkungan adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cara membangun kualitas hidup yang baik dan membina daya dukung alam mampu menopang keberlanjutan pembangunan.