Kemitraan berkembang
dengan baik sejak terjadinya krisis ekonomi dan politik yang menimpa Indonesia
pada akhir tahun 1997. Pemerintah, tokoh-tokoh terkemuka dari masyarakat sipil, dunia usaha
dan negara-negara donor berkumpul dengan
semangat pembaruan dan bekerja sama untuk memajukan demokrasi di Indonesia.
Kerjasama
pemerintah, tokoh-tokoh terkemuka dari masyarakat sipil mempunyai kontribusi dalam penyelenggaraan pemilihan
umum yang bebas pada bulan Juni 1999 dan
menghasilkan satu landasan yang ideal untuk menggerakkan upaya serupa guna memajukan pembaruan tata
pemerintahan. Sebuah proses konsultasi
yang dipimpin UNDP melahirkan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia pada bulan Maret
2000.
Secara formal
kemitraan di bidang pertanian yang ditumbuhkembangkan oleh pemerintah dimulai tahun 1970-an dengan
model Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan
(PIR-Bun) sebagai terjemahan dari ”Nucleus Estate Smallholder Scheme” (NESS). Konsep dari model PIR-Bun dibangun
atas respon dari Bank Dunia yang menghendaki
percepatan pembangunan pada sub sektor perkebunan terutama yang menyangkut komoditas ekspor, dan
sekaligus dapat menciptakan kesempatan
kerja baru bagi petani yang menetap di sekitar perkebunan dan mengelola kebun milik pribadi (Puspitawati, 2004).
Pola kemitraan
seperti PIR tidak hanya dikembangkan pada tanaman perkebunan, tetapi juga diterapkan pada
komoditas lain seperti persawahan. Maka bermunculanlah
Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang menggunakan pola inti-plasma, Tambak Inti
Rakyat (TIR) untuk komoditas pertambakan/udang, dan model-model kemitraan lain
seperti PIR-Susu, PIR-Unggas, Intensifikasi Kapas Rakyat (IKR), dan
Intensifikasi Tembakau Rakyat (ITR) yang tidak terlepas dari peran pemerintah untuk mendorong penerapan
model kemitraan usaha. Pemerintah memperkenalkan model ini dengan macam-macam
istilah antara lain pola inti plasma,
pola kemitraan, pola bapak angkat-anak angkat, dan pola kerjasama. Kesemua istilah tersebut secara
garis besar merupakan pola kemitaan.
Secara
tradisional petani dan pengusaha di bidang pertanian juga sudah banyak melaksanakan kemitraan usaha. Bentuk
gaduhan ternak, sewa-sakap lahan, sistem
bagi hasil usaha tani tanaman semusim dan nelayan, serta sistem”yarnen” merupakan contoh-contoh kemitraan
tradisional yang banyak dilaksanakan
sampai saat ini.
Rustiani et. al
(1997) dalam Puspitawati (2004) menyimpulkan bahwa pemerintah Indonesia sangat terdorong untuk
menerapkan model kemitraan karena bebarapa
alasan strategis. Pertama, model kemitraan dapat meningkatkan kapasitas produksi pertanian Indonesia, terutama
komoditas ekspor, sehingga menunjang
program pembangunan berorientasi ekspor. Kedua, model ini dianggap sebagai
koreksi terhadap sistem pengembangan pertanian yang berorientasi perkebunan besar (estate) dan
cenderung bersifat tertutup. Pada kemitraan
petani kecil dianggap memiliki peran aktif khususnya dalam produksi. Ketiga, melalui model ini pemerintah
menganggap telah melakukan landreform yang
mencoba menata kembali struktur pemilikan penguasaan, dan pendistribusian tanah kepada penduduk yang memerlukan.
Keempat, dalam hal teknis produksi model
kemitraan dapat menjadi perantara penyaluran kredit dan alih teknologi, sehingga tercipta modernisasi
di sektor pertanian.
Arahan
pemerintah yang cukup disertai dengan fasilitas-fasilitas fisik maupun kemudahan yang disediakan oleh
pemerintah seperti kemudahan mendapatkan
kredit bank, telah merangsang swasta untuk mengembangkan usaha melalui hubungan kemitraan atau kontrak. Faktor
lain yang mendorong swasta yaitu sulitnya memperoleh tanah untuk berproduksi,
sehingga efisien untuk mengontrak petani daripada harus menginvestasikan
sejumlah dana untuk penyediaan tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar