Translate

Senin, 27 Januari 2014

Sejarah Kemitraan di Indonesia



Kemitraan berkembang dengan baik sejak terjadinya krisis ekonomi dan politik yang menimpa Indonesia pada akhir tahun 1997. Pemerintah, tokoh-tokoh  terkemuka dari masyarakat sipil, dunia usaha dan negara-negara donor berkumpul  dengan semangat pembaruan dan bekerja sama untuk memajukan demokrasi di  Indonesia.

Kerjasama pemerintah, tokoh-tokoh terkemuka dari masyarakat sipil  mempunyai kontribusi dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas pada  bulan Juni 1999 dan menghasilkan satu landasan yang ideal untuk menggerakkan  upaya serupa guna memajukan pembaruan tata pemerintahan. Sebuah proses  konsultasi yang dipimpin UNDP melahirkan Kemitraan bagi Pembaruan Tata  Pemerintahan di Indonesia pada bulan Maret 2000.

Secara formal kemitraan di bidang pertanian yang ditumbuhkembangkan  oleh pemerintah dimulai tahun 1970-an dengan model Perusahaan Inti Rakyat  Perkebunan (PIR-Bun) sebagai terjemahan dari ”Nucleus Estate Smallholder  Scheme” (NESS). Konsep dari model PIR-Bun dibangun atas respon dari Bank  Dunia yang menghendaki percepatan pembangunan pada sub sektor perkebunan  terutama yang menyangkut komoditas ekspor, dan sekaligus dapat menciptakan  kesempatan kerja baru bagi petani yang menetap di sekitar perkebunan dan  mengelola kebun milik pribadi (Puspitawati, 2004).




Pola kemitraan seperti PIR tidak hanya dikembangkan pada tanaman  perkebunan, tetapi juga diterapkan pada komoditas lain seperti persawahan. Maka  bermunculanlah Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang menggunakan pola inti-plasma, Tambak Inti Rakyat (TIR) untuk komoditas pertambakan/udang, dan model-model kemitraan lain seperti PIR-Susu, PIR-Unggas, Intensifikasi Kapas Rakyat (IKR), dan Intensifikasi Tembakau Rakyat (ITR) yang tidak terlepas dari  peran pemerintah untuk mendorong penerapan model kemitraan usaha. Pemerintah memperkenalkan model ini dengan macam-macam istilah antara lain  pola inti plasma, pola kemitraan, pola bapak angkat-anak angkat, dan pola  kerjasama. Kesemua istilah tersebut secara garis besar merupakan pola kemitaan.

Secara tradisional petani dan pengusaha di bidang pertanian juga sudah  banyak melaksanakan kemitraan usaha. Bentuk gaduhan ternak, sewa-sakap  lahan, sistem bagi hasil usaha tani tanaman semusim dan nelayan, serta  sistem”yarnen” merupakan contoh-contoh kemitraan tradisional yang banyak  dilaksanakan sampai saat ini.

Rustiani et. al (1997) dalam Puspitawati (2004) menyimpulkan bahwa  pemerintah Indonesia sangat terdorong untuk menerapkan model kemitraan karena bebarapa alasan strategis. Pertama, model kemitraan dapat meningkatkan  kapasitas produksi pertanian Indonesia, terutama komoditas ekspor, sehingga  menunjang program pembangunan berorientasi ekspor. Kedua, model ini dianggap sebagai koreksi terhadap sistem pengembangan pertanian yang  berorientasi perkebunan besar (estate) dan cenderung bersifat tertutup. Pada  kemitraan petani kecil dianggap memiliki peran aktif khususnya dalam produksi.  Ketiga, melalui model ini pemerintah menganggap telah melakukan landreform  yang mencoba menata kembali struktur pemilikan penguasaan, dan  pendistribusian tanah kepada penduduk yang memerlukan. Keempat, dalam hal  teknis produksi model kemitraan dapat menjadi perantara penyaluran kredit dan  alih teknologi, sehingga tercipta modernisasi di sektor pertanian.

Arahan pemerintah yang cukup disertai dengan fasilitas-fasilitas fisik  maupun kemudahan yang disediakan oleh pemerintah seperti kemudahan  mendapatkan kredit bank, telah merangsang swasta untuk mengembangkan usaha  melalui hubungan kemitraan atau kontrak. Faktor lain yang mendorong swasta yaitu sulitnya memperoleh tanah untuk berproduksi, sehingga efisien untuk mengontrak petani daripada harus menginvestasikan sejumlah dana untuk penyediaan tanah. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar